KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT
DITINJAU
DARI ASPEK KEBERLANGSUNGAN
SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DI PROVINSI ACEH
Oleh
Nuraina,SKM,Msi
(Kepala KLH kabupaten Aceh Utara)
Catatan : Tulisan ini sudah
diajukan dan diterima oleh Panitia Seminar Kesehatan Lingkungan di Bali pada
tahun 2010, saat itu penulis bekerja selaku pada kantor Bappeda Kabupaten Aceh
Utara sebagai Kabid Ekonaker
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Dengan
Konsep Otonomi Daerah, sangat memberikan kesempatan daerah untuk mengurusi
daerahnya, sehingga tugas dan tanggung jawabnya bertambah berat sesuai dengan
kewenangan yang bertambah pula. Hal ini dapat dicermati dengan kewenangan yang
diberikan untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya dengan
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Kemudian untuk merealisasikan
tujuan tersebut, juga diberikan kewenangan untuk mengolah potensi sumber daya
alam daerahnya, dalam rangka meningkatkan perekonomian daerahnya.
Dalam
pengelolaan potensi SDA, walaupun diberikan kewenangan pada daerah namun diatur
dengan ketentuan perundang-undangan maupun peraturan dari pemerintah Pusat,
seperti dalam hal pengelolaan pertambangan diatur dalam UU RI No 4 Tahun 2009,
PP RI No 22 TAHUN 2010 Tentang Wilayah
Pertambangan dan PP RI NOMOR 23 TAHUN 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara, kemudian Pemda baik Provinsi maupun
Kabupaten/Kota diamanatkan untuk membuat Peraturan Daerah/Qanun sebagai
penjabaran pengaturan di wilayah kerjanya
Dalam
ketentuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana tersebut diatas,
dalam pengelolaan pertambangan diantaranya logam mineral dan batu bara,
kewenangan Pemda Kabupaten/kota untuk menetapkan wilayah pertambangan sesuai
dengan kewenangannya, setelah itu menerbitkan ijin pertambangan. Namun pada kenyataannya masalah pertambangan
dalam rangka pengelolaan SDA, masih sering terjadi polemik yang justru
berakibat timbulnya kesenjangan sosial dan saat ini timbul berbagai
permasalahan akibat maraknya Pertambangan Tanpa Ijin.
Permasalahan
Belum adanya Qanun/ Perda dibeberapa Kabupaten/kota untuk mengatur
tentang pertambangan, sedangkan Qanun tersebut sebagai dasar hukum dalam
melakukan kegiatan pertambangan di wilayah ini, sebagaimana yang diamanahkan
dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, khususnya berkaitan dengan
pertambangan rakyat, sehingga Pemda Kabupaten/kota tersebut belum dapat untuk
menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat dan juga tidak dapat menerbitkan Ijin Pertambangan sesuai dengan
kewenangannya (yaitu IPR)
Dalam melakukan survey untuk mendapatkan lokasi pertambangan tidak
secara terkoordinasi (tidak melibatkan unsur Pemda lainnya terutama instansi
tehnis). Hal ini mengabaikan legalitas kegiatannya, dan pada kenyataannya ada
lokasi yang telah dilakukan penggalian sampai kedalaman 15 meter tidak
ditemukan kandungan emas.
Hasil Survey tidak didatakan menjadi potensi SDA Daerah Kabupaten,
tetapi dijadikan milik pribadi dengan cara langsung melakukan pembuatan lokasi
pertambangan.
Dalam pemilikan lokasi pertambangan, para pemilik bertindak semena-mena
(sesuka hatinya), dengan tidak mengabaikan keharusan luas lahan yang
diperbolehkan sebagai peruntukkannya
Kekhawatiran meningkatnya aktivitas pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup, dimana proses pengolahan penguraian endapan emas menggunakan zat kimia
yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia yaitu Mercuri (air rakasa),
sementara limbah produksi langsung dibuang ke aliran sungai
Tujuan
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat :
Menjadi bahan masukan pada Pemerintah Daerah dalam menentukan kebijakan yang akan diambil dalam
pengelolaan pertambangan emas rakyat guna dapat menjaga keberlangsungan sumber
daya dan lingkungan.
Menggerakkan warga masyarakat terutama penambang
sehingga berperilaku yang berpihak kepada keberlangsungan sumber daya dan
lingkungan
Terlaksananya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengan
ekologi di daerah pertambangan khususnya dan di provinsi Aceh pada umumnya
Menggerakkan partisipasi pihak akademisi untuk dapat
mensosialisasikan hasil penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif, yaitu :
Studi
pustaka ; Observasi lapangan pada lokasi
pengamatan ; Wawancara ; Analisa dan
Menarik
kesimpulan dari analisa
TEORI
DASAR
Menurut
UU RI No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, dalam pasal 1
tentang ketentuan umum, menyebutkan bahwa :
Pertambangan
adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di
alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia. tertentu serta susunan kristal
teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau
padu.
Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan
mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi,
serta air tanah.
Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut
IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah
pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha
pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang
berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,
terxnasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang.
Penambangan adalah bagian kegiatan usaha
pertambangan untuk memproduksi mineral dan: atau batubara dan mineral
ikutannya.
Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha
pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/ atau batubara serta untuk
memanfaatkan dan memperoleh mineral iltutan.
Analisis Mengenai Dam.pak Lingkungan, yang
selanjutnya disebut amclal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting
suatu usaha darr/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/
atau kegiatan.
Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya
disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat di lakukan kegiatan usaha
pertambangan rakyat.
Untuk menentukan dan menetapkan Wilayah Pertambangan
Rakyat, menurut UU RI No
4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, tersebut dalam Pasal 21
bahwa WPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota; dalam
pasal 23 dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumurnan mengenai rencana WPR kepada
masyarakat secara terbuka; dan dalam pasal 68 ayat (1) Luas wilayah untuk 1 (satu)
IPR yang dapat dibcrikan kepada : a.
perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare; b. kelompok masyarakat
paling banyak 5 (lima) helrtare; dan/ atau c. koperasi paling
banyak 10 (sepuluh) hektare.
Dalam PP RI No
22 TAHUN 2010 Tentang Wilayah Pertambangan, dijelaskan dalam pasal 7 bahwa : Penyelidikan dan penelitian
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan secara
terkoordinasi oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya; dalam Pasal 8 ayat (1)m bahwa Dalam melakukan kegiatan penyelidikan dan
penelitian pertambangan, Menteri atau gubernur dapat memberikan penugasan
kepada lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah; dan dalam pasal 27
ayat (1) Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 yang memenuhi
kriteria ditetapkan menjadi WPR oleh bupati/walikota setempat setelah berkoordinasi
dengan pemerintah provinsi dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/kota ; dan dalam ayat (2)
Penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
oleh bupati/walikota kepada Menteri dan gubernur
Dalam PP RI NOMOR 23 TAHUN 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, dalam pasal 4 disebutkan
bahwa : Untuk memperoleh IUP, IPR, dan
IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pemohon harus memenuhi
persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan financial; kemudian dalam
pasal 47 ayat (2) disebutkan bahwa : IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh
bupati/walikota.
Menurut Qanun
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 tahun 2002 Tentang Pertambangan
umum, minyak bumi dan gas alam, dalam Pasal 15 menyebutkan, bahwa : (1) Bupati/Walikota
sebelum memberikan izin Pertambangan Rakyat terlebih dahulu Gubernur menetapkan
Wilayah Pertambangan Rakyat setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari
Gubernur atau Dinas terkait di Provinsi; (2)
Usaha Pertambangan Rakyat hanya diberikan kepada perorangan dan atau
kelompok masyarakat; dan (3) Pengaturan lebih lanjut tentang wilayah kerja
Pertambangan Rakyat ditetapkan berdasarkan keputusan Bupati/Walikota dengan
mempedomani peta "Zonasi Pertambangan" Provinsi.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT DITINJAU DARI
ASPEK KEBERLANGSUNGAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
Dalam pengelolaan pertambangan emas rakyat,
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota mengambil kebijakan melalui koperasi, namun
demikian masih banyak yang melakukan secara perorangan, khususnya bagi
masyarakat yang memiliki modal.
Sampai saat ini di beberapa Pemda Kabupaten/ Kota
belum memiliki Qanun/ Perda untuk mengatur tentang pertambangan, sementara
kedudukan Qanun tersebut sebagai syarat utama dalam melakukan Penetapan Wilayah
Pertambangan , terutama Wilayah Pertambangan Rakyat, sehingga belum dapat untuk
menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat maupun menerbitkan Ijin Pertambangan
Rakyat.
Pemerintahan Provinsi Aceh dalam mengatur kegiatan
pertambangan di wilayah Aceh memiliki Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12
tahun 2002 Tentang Pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, yang antara
lain : 1) dalam Pasal 15 menyebutkan
bahwa (1) Bupati/Walikota sebelum memberikan izin Pertambangan
Rakyat terlebih dahulu Gubernur menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat setelah
mendapatkan pertimbangan teknis dari Gubernur atau Dinas terkait di Provinsi;
(2) Usaha Pertambangan Rakyat hanya diberikan kepada perorangan dan atau
kelompok masyarakat; dan (3) Pengaturan lebih lanjut tentang wilayah kerja
Pertambangan Rakyat ditetapkan berdasarkan keputusan Bupati/Walikota dengan
mempedomani peta "Zonasi Pertambangan" Provinsi; 2) dalam Pasal 32 (1) Sebelum melakukan kegiatan penambangan atau
operasi produksi, pemegang kuasa pertambangan wajib menempatkan jaminan reklamasi;
serta dalam Pasal 33 (1) pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan selama usaha pertambangan
berlangsung dan pada pasca tambang.
HASIL PENELITIAN
Gambaran
Umum
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak
diujung barat Indonesia secara geografis dikelilingi oleh laut yaitu selat
Malaka, Selat Benggala dan Samudra Indonesia pada koordinat 2º - 6º lintang
Utara dan 95º - 98º Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
dan Selat Benggala; Sebelah Selatan
berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara; Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra
Hindia,dan Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Provinsi Aceh
berdasarkan undang-undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah ( pasal
18 ), disamping wilayah darat juga memilki wilayah laut yaitu laut teritorial
dan laut kepulauan. Luas wilayah daratan
Aceh adalah 57.365,57 km² atau 5.736.557 ha, dengan rincian penggunaan
lahan adalah : 1) Perkampungan/Permukiman 110.715,55 Ha; (2) industri 3.441,93
Ha; (3) Pertambangan 516,29; (4) Persawahan 289.122,47 Ha; (5) Pertanian Tanah
Kering 136.530,00 Ha; (6)Tanaman Semusim 329852,03 Ha; (7) Perkebunan besar
308.053,11 Ha; (8) Perkebunan Kecil 223.725,72 Ha; (9) Hutan 3.9463177,56 Ha;
(10) Perairan Darat 148.003,17 Ha; (11) Tanah Terbuka 18.930,64 Ha; dan
lain-lain seluas 13.825,17 Ha. Secara Administratif di Aceh terdapat 119 pulau,
35 buah gunung, 73 buah sungai, 21 Kabupaten/Kota, 228 Kecamatan, 629 mukim,
112 Kelurahan dan 5.947 Desa.
Wawancara
Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan
Koperasi (Disperindagkop) Pidie, Said Muliady SE M.Si pada tanggal 25 Januari
2010, menyebutkan bahwa pendulangan emas secara tradisional di Kecamatan Tangse
dan Manee, Kabupaten Pidie, dinyatakan liar, karena lokasi pendulangan emas itu
dalam wilayah izin PT Waila Aceh Mineral, yang sementara ini sedang tidak
beraktifitas. Disamping itu aktivitas penambangan emas liar tersebut menggunakan
merkuri. Jumlah persentase digunakan belum diketahui, karena pihaknya belum
turun langsung kelokasi itu.
Ketua Koperasi pengelola pertambangan emas rakyat yang berlokasi di kaki
pegunungan Leuser tepatnya di Desa Suka Damai yang juga berdekatan dengan DAS
Kreung Paya Iteik Kecamatan Lembah Sabil Kabupaten Aceh Barat Daya, menyebutkan
bahwa bahwa hingga saat ini belum ditemukan adanya emas dari beberapa titik
penggalian yang telah dilakukan sejak tiga bulan lalu. Akan tetapi pihaknya
memastikan pemakaian mercury di lokasi pertambangan sangat terbatas dan hanya
dioperasikan di tempat penguraian serta mesin penghancur batu.
Hasil
wawancara dengan Sdr Masdinur sebagai
Tim Pengawas Distamben Aceh, bahwa bahwa sistem penambangan emas rakyat di
kawasan Gunong Ujeuen saat ini semakin berbahaya dan bisa berakibat fatal bagi
para penambangnya, karena kedalaman penggalian yang mereka lakukan 30 sampai 40
meter, sementara yang dibenarkan paling dalam hanya 25 meter. Kemudian menurut yang bersangkutan saat ini tambang
emas yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat, tidak saja di Gunung
Uteun Ujeun Kabupaten Aceh Jaya, juga di Panton Luas Kabupaten Aceh Selatan dan
di Geumpang Kabupaten Pidie.
Menurut
Wakil Bupati Aceh Jaya, keberadaan tambang emas tradisional itu memiliki risiko
tinggi karena warga masyarakat penambang menggali lubang hingga kedalaman
mencapai belasan meter. Lubang-lubang itu mengancam keselamatan jiwa penambang
karena ketika hujan turun bisa menyebabkan longsor dinding lubang yang mengakibatkan
bahan material turun. Kemudian
dalam menyikapi jatuhnya korban para penambang emas di lokasi galian Gunung
Ujen Kecamatan Kreung Sabe, Pemkab Aceh Jaya melarang aktivitas penambangan
untuk sejenak, sembari menunggu kawasan itu steril dari wabah malaria. Disamping itu ada kawasan Gunung Ujen yang
masuk dalam kawasan hutan lindung. Dan untuk itu Pemda Kabupaten Aceh jaya
sedang meminta dengan pihak terkait agar dapat melakukan perubahan status
kawasan hutan dari lindung menjadi hutan produksi, dengan memasang patok tapal
batas
Observasi lapangan
Berdasarkan
observasi lapangan, dapat ditemukan bahwa para pekerja tambang telah melakukan penggalian sampai kedalaman 30-35 Meter, kemudian mereka
tidak dibekali dengan perlengkapan keselamatan kerja seperti helm, masker dan
oksigen.
Pemecahan batu
dilakukan secara manual, dengan menggunakan
alat pahat dan martil. Sedangkan penambangan
rakyat yang mengolah mineral emas menggunakan 50 – 70 unit gelondongan yang
digerakkan mesin penggerak tenaga diesel, dimana setiap gelondong mampu
mengolah 20 Kg batu yang dihancurkan paling lama sekitar 4 jam.
Dalam melakukan
proses penguraian emas dari pecahan bebatuan dengan menggunakan mesin
gelondongan, maupun dengan pendulangan, mempergunakan zat kimia yang sangat
berbahaya bagi kehidupan manuasia yaitu Mercuri, para pengolah belum dapat
dipastikan keahliannya dalam mekanisme penggunaan mercuri tersebut.
Pusat pengolahan penambangan
rakyat yang berlokasi di pinggiran hutan lindung dan kaki pegunungan Leuser tepatnya
di Desa Suka Damai yang juga berdekatan dengan DAS Kreung Paya Iteik Kecamatan
Lembah Sabil Kabupaten Aceh Barat Daya sangat rawan menimbulkan kerusakan
lingkungan akibat limbah mercuri yang dipergunakan oleh para pengolah/ pengurai
emas dilokasi tersebut.
Walaupun dilokasi memiliki kolam untuk daur ulang limbah, namun akibat
hujan yang beruntun maka air limbah di kolam akan penuh dan merembes/melimpah
ke aliran DAS Kreung Paya Iteik Desa Sukadamai yang mengalir hingga ke pusat
Kreung Manggeng akan tercemar.
Kemudian Lokasi
penambangan di daerah ini sampai saat ini belum ditemukan adanya emas,
sementara perbukitan di beberapa titik sudah dalam kondisi berlubang dengan
kedalaman sampai 5 – 10 meter dengan ukuran
lebar sekitar 1,5 meter dan tinggi 1,7 meter, yaitu di Desa
Suka Damai Kecamatan Lembah Sabil Kabupaten Aceh Barat Daya.
Masyarakat yang ekonomi lemah, dalam mendapatkan lokasi yang memiliki
emas, hanya dari hasil mengikuti dan melihat kegiatan petugas survei yang
secara kebetulan memasuki Desanya, sementara petugas survei didatangkan oleh
masyarakat yang bermodal dari luar daerah biasanya dari Bandung, dan bukan dari petugas riset daerah, kemudian
bila di lokasi memiliki emas, maka sipemodal berupaya untuk memiliki lahan
tersebut.
Dalam pemilikan lahan lokasi penambangan emas, warga masyarakat dapat
memiliki seluas 5 sampai 10 hektar, sudah tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk pemilikan lahan penambangan.
Sementara lahan, ada yang milik
masyarakat, namun ada juga lahan yang masih berstatus milik Negara/ Pemerintah
daerah
Gambar 1 : Lokasi Penggalian
Gambar 2 : Pecahan batu siap untuk diproses pengolahan
Gambar 3 : Lokasi Pengolahan/pemurnian
Gambar 4 : Pembuangan limbah proses pengolahan
ANALISA
Keberadaan
tambang emas tradisional tersebut itu memiliki resiko tinggi karena lubang yang
digali mencapai kedalaman puluhan meter
dan lubang-lubang tersebut mengancam keselamatan jiwa para penambang, terutama
ketika hujan turun bisa menyebabkan longsor dinding lubang yang mengakibatkan
bahan material turun.
Aktivitas
penambangan tersebut merusak lingkungan, baik dari sisi penggalian maupun
limbah mercury (air raksa) yang digunakan dalam proses menguraikan/memisahkan
emas dari hancuran bebatuan, terutama bila lokasi penambangan berada disekitar
DAS.
Ada
tiga aspek yang saling berkaitan dengan
persoalan pertambangan di Aceh, yaitu
aspek legalitas (hukum), aspek Lingkungan dan aspek ekonomi, namun dengan keberadaan penambangan
rakyat di Provinsi Aceh lebih cenderung pada aspek ekonomi, dengan mengabaikan asapek
lingkungan dan legalitasnya.
Penambangan
emas di beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Abdya, Aceh Jaya, Aceh Selatan yang menggali hingga kedalaman 30 meter telah
melanggar pasal 12 ayat b UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, kemudian untuk penambangan skala rakyat yang mempunyai cadangan
primer logam atau batubara, kedalaman penggalian yang boleh dilakukan maksimal
sampai 25 meter.
Kegiatan
penambangan khususnya emas, tidak terlepas dari penggunaan zat kimia yang
berbahaya bagi kehidupan manusia, yaitu mercury dalam proses penguraian endapan
emas dari bebatuannya/lumpurnya, sementara penggunaan mercury telah melanggar
UU Nomot 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 43 ayat 1 dan
Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/KEP/7/2000 tentang
Tata Niaga Impor dan Peredaran Bahan Bebahaya tertentu, termasuk mengangkut,
mengedar, menyimpan bahan berbahaya.
Keberadaan
Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) sebagaimana tersebut diatas, sangat
mempengaruhi terjadinya kerusakan
lingkungan, hal ini kemungkinan dalam melakukan kegiatannya tanpa di dasari
data explorasi, dan faktor keselamatan kerja.
Qanun
yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh Nomor
12 tahun 2002 Tentang Pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, sudah tidak
relevan berkaitan dengan telah keluarnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara berikut dengan peraturan pelaksanaannya yaitu
PP RI No 22 TAHUN 2010 Tentang Wilayah
Pertambangan dan PP RI NOMOR 23 TAHUN 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara
Untuk
Pemda Kabupaten/kota sampai saat ini belum menerbitkan Qanun yang berkaitan dengan kegiatan
pertambangan sesuai dengan tingkat kewenangannya, sehingga sangat patut dan
wajar bila hal ini menjadi salah satu factor penyebab maraknya pertambangan
tanpa ijin/ liar
Keberadaan
koperasi sebagai tempat warga bernaung, merupakan kebijakan yang kurang
relevan, dan membohongi warga karena kegiatan mereka sudah merupakan tindakan
yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Berangkat
dari pengalaman keberhasilan daerah provinsi lainnya dalam pengelolaan pertambangan emas rakyat melalui
BUMD, tidak salahnya apabila langkah kebijakan tersebut dapat diterapkan di
provinsi Aceh.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil observasi di lapangan dan analisa
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Dengan belum diterbitkannya Qanun/ Perda di Pemda Kabupaten/kota untuk
mengatur tentang kegiatan Pertambangan, kemudian
Qanun Pemda Provinsi Aceh yang ada tidak mengacu kepada ketentuan
perundangan-undangan yang baru dari Pemerintah Pusat, maka Pemda belum dapat
untuk menetapkan Wilayah Pertambangan di daerahnya, sehingga tidak dapat
menerbitkan Ijin Pertambangan sesuai dengan kewenangannya.
Sehingga sejak diundangkannya ketentuan perundang-undangan dan peraturan
pemerintah yang baru, kegiatan pertambangan yang dilakukan di wilayah Provinsi
Aceh khususnya pertambangan emas rakyat, adalah tidak sah atau illegal, dan
walaupun diantaranya ada memiliki IPR
(ijin Pertambangan Rakyat), namun IPR tersebut dipandang tidak sah karena tidak
sesuai dengan prosedur dari ketentuan yang berlaku.
Dengan belum terpenuhinya Qanun baik tingkat Provinsi Aceh maupun
tingkat Pemda Kabupaten/kota, sebagaimana yang dimanatkan UU No 4 Tahun 2009
berikut dengan Peraturan Pelaksanaanya, maka kebijakan yang diambil tidak
menguntungkan keberlangsungan sumber daya alam dan lingkungan di Provinsi Aceh.
Pengelolaan pertambangan rakyat yang diwadahi dengan koperasi terutama pasca
diberlakukannya UU No 4 Tahun 2009 beserta peraturan pelaksanaannya, bukan
merupakan kebijakan yang arif karena telah membohongi warga dari legalitas
kegiatan mereka.
Kebijakan pengelolaan
pertambangan emas rakyat selama ini, secara substansial hanya
menunjang pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah-wilayah
tersebut, akan tetapi mengenyampingkan aspek legalitas dan lingkungannya. Sehingga dapat merugikan keberlangsungan
sumber daya alam dan lingkungan di Provinsi Aceh.
Kegiatan Pertambangan
Emas Tanpa Izin (PETI) sebagaimana tersebut diatas, merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan, hal ini dikarenakan dalam
melakukan kegiatannya tanpa di dasari data explorasi,, penggunaan zat kimia
mercuri dengan membuang limbah sembarangan dan tidak memperhitungkan faktor
keselamatan kerja.
Diperlukan pembuatan kebijakan yang tepat untuk mengubah status
pertambangan tersebut menjadi pertambangan resmi berskala kecil.yang
berorientasi kepada keekonomian masyarakat setempat, hal ini dapat terealisasi
bila perangkat hukum khususnya Qanun dapat dengan secepatnya diterbitkan oleh
Pemda Kabupaten/kota, sedangkan Pemda Provinsi Aceh dapat merevfisi Qanun
sebelumnya, sehingga mengacu pada UU No 4 Tahun 2009 dan peraturan
pelaksanaannya.
Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang
bergerak dibidang pertambangan rakyat, karena secara ekonomi keuntungan yang
diperoleh akan berlipat ganda tanpa dibagi kepada investor pengelola. Kemudian
dapat terjaga keseimbangan lingkungan dan tata ruang wilayah pertambangan,
serta yang terpenting memberikan kontribusi kepada kepentingan pembangunan
sosial ekonomi serta keberlangsungan sumber daya dan lingkungan di provinsi
Aceh.
DAFTAR
PUSTAKA
Mitchel Bruce, Setiawan.D dan Hadi Rahmi.D,
2000, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Sinar Grafika Offset Jakarta
Soerjani.M, Ahmad.R dan Munir.R, 1987,
Lingkungan : Sumber daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Universitas
Indonesia Jakarta
Soemirat J.S, 1994, Kesehatan Lingkungan,
Gajah Mada University Press Yokyakarta
Suparmoko.M , 1989, Ekonomi, Sumber Daya
Alam dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta
Undang
Undang Rewpublik Indonesia, Nomor 4 Tahun 2009, Pertambangan Mineral dan
Batubara, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia Jakarta
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2010, Wilayah Pertambangan, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia Jakarta
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2010, Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia
Jakarta
Undang
Undang Rewpublik Indonesia, Nomor 26 Tahun 2007, Penataan Ruang, Departemen
Hukum dan HAM Republik Indonesia Jakarta