Selasa, 21 Agustus 2012

KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT DITINJAU DARI ASPEK KEBERLANGSUNGAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DI PROVINSI ACEH

KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT
DITINJAU DARI ASPEK KEBERLANGSUNGAN
SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DI  PROVINSI ACEH
Oleh
Nuraina,SKM,Msi
(Kepala KLH kabupaten Aceh Utara)

Catatan :  Tulisan ini sudah diajukan dan diterima oleh Panitia Seminar Kesehatan Lingkungan di Bali pada tahun 2010, saat itu penulis bekerja selaku pada kantor Bappeda Kabupaten Aceh Utara sebagai Kabid Ekonaker

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dengan Konsep Otonomi Daerah, sangat memberikan kesempatan daerah untuk mengurusi daerahnya, sehingga tugas dan tanggung jawabnya bertambah berat sesuai dengan kewenangan yang bertambah pula. Hal ini dapat dicermati dengan kewenangan yang diberikan untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Kemudian untuk merealisasikan tujuan tersebut, juga diberikan kewenangan untuk mengolah potensi sumber daya alam daerahnya, dalam rangka meningkatkan perekonomian daerahnya.
Dalam pengelolaan potensi SDA, walaupun diberikan kewenangan pada daerah namun diatur dengan ketentuan perundang-undangan maupun peraturan dari pemerintah Pusat, seperti dalam hal pengelolaan pertambangan diatur dalam UU RI No 4 Tahun 2009, PP RI No  22 TAHUN 2010 Tentang Wilayah Pertambangan dan PP RI NOMOR 23 TAHUN 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, kemudian Pemda baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota diamanatkan untuk membuat Peraturan Daerah/Qanun sebagai penjabaran pengaturan di wilayah kerjanya
Dalam ketentuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana tersebut diatas, dalam pengelolaan pertambangan diantaranya logam mineral dan batu bara, kewenangan Pemda Kabupaten/kota untuk menetapkan wilayah pertambangan sesuai dengan kewenangannya, setelah itu menerbitkan ijin pertambangan.  Namun pada kenyataannya masalah pertambangan dalam rangka pengelolaan SDA, masih sering terjadi polemik yang justru berakibat timbulnya kesenjangan sosial dan saat ini timbul berbagai permasalahan akibat maraknya Pertambangan Tanpa Ijin.
Permasalahan
Belum adanya Qanun/ Perda dibeberapa Kabupaten/kota untuk mengatur tentang pertambangan, sedangkan Qanun tersebut sebagai dasar hukum dalam melakukan kegiatan pertambangan di wilayah ini, sebagaimana yang diamanahkan dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, khususnya berkaitan dengan pertambangan rakyat, sehingga Pemda Kabupaten/kota tersebut belum dapat untuk menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat dan juga tidak dapat  menerbitkan Ijin Pertambangan sesuai dengan kewenangannya (yaitu IPR)
Dalam melakukan survey untuk mendapatkan lokasi pertambangan tidak secara terkoordinasi (tidak melibatkan unsur Pemda lainnya terutama instansi tehnis). Hal ini mengabaikan legalitas kegiatannya, dan pada kenyataannya ada lokasi yang telah dilakukan penggalian sampai kedalaman 15 meter tidak ditemukan kandungan emas.
Hasil Survey tidak didatakan menjadi potensi SDA Daerah Kabupaten, tetapi dijadikan milik pribadi dengan cara langsung melakukan pembuatan lokasi pertambangan.
Dalam pemilikan lokasi pertambangan, para pemilik bertindak semena-mena (sesuka hatinya), dengan tidak mengabaikan keharusan luas lahan yang diperbolehkan sebagai peruntukkannya
Kekhawatiran meningkatnya aktivitas pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, dimana proses pengolahan penguraian endapan emas menggunakan zat kimia yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia yaitu Mercuri (air rakasa), sementara limbah produksi langsung dibuang ke aliran sungai
Tujuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat :
Menjadi bahan masukan  pada Pemerintah Daerah dalam  menentukan kebijakan yang akan diambil dalam pengelolaan pertambangan emas rakyat guna dapat menjaga keberlangsungan sumber daya dan lingkungan.
Menggerakkan warga masyarakat terutama penambang sehingga berperilaku yang berpihak kepada keberlangsungan sumber daya dan lingkungan
Terlaksananya  keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengan ekologi di daerah pertambangan khususnya dan di provinsi Aceh pada umumnya
Menggerakkan partisipasi pihak akademisi untuk dapat mensosialisasikan hasil penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif, yaitu :
Studi pustaka ;  Observasi lapangan pada lokasi pengamatan ; Wawancara ; Analisa dan
Menarik kesimpulan dari analisa
TEORI DASAR
Menurut UU RI No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, dalam pasal 1 tentang ketentuan umum, menyebutkan bahwa :
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia. tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, terxnasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang.
Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan: atau batubara dan mineral ikutannya.
Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/ atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral iltutan.
Analisis Mengenai Dam.pak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amclal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha darr/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/ atau kegiatan.
Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat di lakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.
Untuk menentukan dan menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat, menurut  UU RI No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, tersebut dalam Pasal 21 bahwa WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota; dalam pasal 23 dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumurnan mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka; dan dalam pasal 68 ayat (1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat dibcrikan kepada : a.  perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare; b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) helrtare; dan/ atau c.  koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.
Dalam PP RI No  22 TAHUN 2010 Tentang Wilayah Pertambangan, dijelaskan  dalam pasal 7 bahwa : Penyelidikan dan penelitian pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan secara terkoordinasi oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dalam Pasal 8 ayat (1)m bahwa  Dalam melakukan kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan, Menteri atau gubernur dapat memberikan penugasan kepada lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah; dan dalam pasal 27 ayat (1) Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPR oleh bupati/walikota setempat setelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota ; dan dalam  ayat (2) Penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh bupati/walikota kepada Menteri dan gubernur
Dalam PP RI NOMOR 23 TAHUN 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, dalam pasal 4 disebutkan bahwa :  Untuk memperoleh IUP, IPR, dan IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) pemohon harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan financial; kemudian dalam pasal 47 ayat (2) disebutkan bahwa :  IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh bupati/walikota.
Menurut Qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 tahun 2002 Tentang Pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dalam Pasal 15 menyebutkan, bahwa : (1) Bupati/Walikota sebelum memberikan izin Pertambangan Rakyat terlebih dahulu Gubernur menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Gubernur atau Dinas terkait di Provinsi; (2)  Usaha Pertambangan Rakyat hanya diberikan kepada perorangan dan atau kelompok masyarakat; dan (3) Pengaturan lebih lanjut tentang wilayah kerja Pertambangan Rakyat ditetapkan berdasarkan keputusan Bupati/Walikota dengan mempedomani peta "Zonasi Pertambangan" Provinsi.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT DITINJAU DARI ASPEK KEBERLANGSUNGAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Dalam pengelolaan pertambangan emas rakyat, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota mengambil kebijakan melalui koperasi, namun demikian masih banyak yang melakukan secara perorangan, khususnya bagi masyarakat yang memiliki modal.
Sampai saat ini di beberapa Pemda Kabupaten/ Kota belum memiliki Qanun/ Perda untuk mengatur tentang pertambangan, sementara kedudukan Qanun tersebut sebagai syarat utama dalam melakukan Penetapan Wilayah Pertambangan , terutama Wilayah Pertambangan Rakyat, sehingga belum dapat untuk menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat maupun menerbitkan Ijin Pertambangan Rakyat.
Pemerintahan Provinsi Aceh dalam mengatur kegiatan pertambangan di wilayah Aceh memiliki Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 tahun 2002 Tentang Pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, yang antara lain :  1) dalam Pasal 15 menyebutkan bahwa  (1) Bupati/Walikota sebelum memberikan izin Pertambangan Rakyat terlebih dahulu Gubernur menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Gubernur atau Dinas terkait di Provinsi; (2) Usaha Pertambangan Rakyat hanya diberikan kepada perorangan dan atau kelompok masyarakat; dan (3) Pengaturan lebih lanjut tentang wilayah kerja Pertambangan Rakyat ditetapkan berdasarkan keputusan Bupati/Walikota dengan mempedomani peta "Zonasi Pertambangan" Provinsi; 2) dalam Pasal 32 (1)  Sebelum melakukan kegiatan penambangan atau operasi produksi, pemegang kuasa pertambangan wajib menempatkan jaminan reklamasi; serta dalam Pasal 33 (1)   pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan selama usaha pertambangan berlangsung dan pada pasca tambang.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak diujung barat Indonesia secara geografis dikelilingi oleh laut yaitu selat Malaka, Selat Benggala dan Samudra Indonesia pada koordinat 2º - 6º lintang Utara dan 95º - 98º Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :  Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Selat Benggala;  Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara;  Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Hindia,dan Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Provinsi Aceh berdasarkan undang-undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah ( pasal 18 ), disamping wilayah darat juga memilki wilayah laut yaitu laut teritorial dan laut kepulauan. Luas wilayah daratan  Aceh adalah 57.365,57 km² atau 5.736.557 ha, dengan rincian penggunaan lahan adalah : 1) Perkampungan/Permukiman 110.715,55 Ha; (2) industri 3.441,93 Ha; (3) Pertambangan 516,29; (4) Persawahan 289.122,47 Ha; (5) Pertanian Tanah Kering 136.530,00 Ha; (6)Tanaman Semusim 329852,03 Ha; (7) Perkebunan besar 308.053,11 Ha; (8) Perkebunan Kecil 223.725,72 Ha; (9) Hutan 3.9463177,56 Ha; (10) Perairan Darat 148.003,17 Ha; (11) Tanah Terbuka 18.930,64 Ha; dan lain-lain seluas 13.825,17 Ha. Secara Administratif di Aceh terdapat 119 pulau, 35 buah gunung, 73 buah sungai, 21 Kabupaten/Kota, 228 Kecamatan, 629 mukim, 112 Kelurahan dan 5.947 Desa.
Wawancara

Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Pidie, Said Muliady SE M.Si pada tanggal 25 Januari 2010, menyebutkan bahwa pendulangan emas secara tradisional di Kecamatan Tangse dan Manee, Kabupaten Pidie, dinyatakan liar, karena lokasi pendulangan emas itu dalam wilayah izin PT Waila Aceh Mineral, yang sementara ini sedang tidak beraktifitas. Disamping itu aktivitas penambangan emas liar tersebut menggunakan merkuri. Jumlah persentase digunakan belum diketahui, karena pihaknya belum turun langsung kelokasi itu.
Ketua Koperasi pengelola pertambangan emas rakyat yang berlokasi di kaki pegunungan Leuser tepatnya di Desa Suka Damai yang juga berdekatan dengan DAS Kreung Paya Iteik Kecamatan Lembah Sabil Kabupaten Aceh Barat Daya, menyebutkan bahwa bahwa hingga saat ini belum ditemukan adanya emas dari beberapa titik penggalian yang telah dilakukan sejak tiga bulan lalu. Akan tetapi pihaknya memastikan pemakaian mercury di lokasi pertambangan sangat terbatas dan hanya dioperasikan di tempat penguraian serta mesin penghancur batu.
Hasil wawancara dengan Sdr  Masdinur sebagai Tim Pengawas Distamben Aceh, bahwa bahwa sistem penambangan emas rakyat di kawasan Gunong Ujeuen saat ini semakin berbahaya dan bisa berakibat fatal bagi para penambangnya, karena kedalaman penggalian yang mereka lakukan 30 sampai 40 meter, sementara yang dibenarkan paling dalam hanya 25 meter.  Kemudian menurut yang bersangkutan saat ini tambang emas yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat, tidak saja di Gunung Uteun Ujeun Kabupaten Aceh Jaya, juga di Panton Luas Kabupaten Aceh Selatan dan di Geumpang  Kabupaten Pidie.
Menurut Wakil Bupati Aceh Jaya, keberadaan tambang emas tradisional itu memiliki risiko tinggi karena warga masyarakat penambang menggali lubang hingga kedalaman mencapai belasan meter. Lubang-lubang itu mengancam keselamatan jiwa penambang karena ketika hujan turun bisa menyebabkan longsor dinding lubang yang mengakibatkan bahan material turun.  Kemudian dalam menyikapi jatuhnya korban para penambang emas di lokasi galian Gunung Ujen Kecamatan Kreung Sabe, Pemkab Aceh Jaya melarang aktivitas penambangan untuk sejenak, sembari menunggu kawasan itu steril dari wabah malaria.  Disamping itu ada kawasan Gunung Ujen yang masuk dalam kawasan hutan lindung. Dan untuk itu Pemda Kabupaten Aceh jaya sedang meminta dengan pihak terkait agar dapat melakukan perubahan status kawasan hutan dari lindung menjadi hutan produksi, dengan memasang patok tapal batas
Observasi lapangan
Berdasarkan observasi lapangan, dapat ditemukan bahwa para pekerja tambang  telah melakukan penggalian  sampai kedalaman 30-35 Meter, kemudian mereka tidak dibekali dengan perlengkapan keselamatan kerja seperti helm, masker dan oksigen.
Pemecahan batu dilakukan  secara manual, dengan menggunakan alat pahat dan martil. Sedangkan penambangan rakyat yang mengolah mineral emas menggunakan 50 – 70 unit gelondongan yang digerakkan mesin penggerak tenaga diesel, dimana setiap gelondong mampu mengolah 20 Kg batu yang dihancurkan paling lama sekitar 4 jam.
Dalam melakukan proses penguraian emas dari pecahan bebatuan dengan menggunakan mesin gelondongan, maupun dengan pendulangan, mempergunakan zat kimia yang sangat berbahaya bagi kehidupan manuasia yaitu Mercuri, para pengolah belum dapat dipastikan keahliannya dalam mekanisme penggunaan mercuri tersebut.
Pusat pengolahan  penambangan rakyat yang berlokasi di pinggiran hutan lindung dan kaki pegunungan Leuser tepatnya di Desa Suka Damai yang juga berdekatan dengan DAS Kreung Paya Iteik Kecamatan Lembah Sabil Kabupaten Aceh Barat Daya sangat rawan menimbulkan kerusakan lingkungan akibat limbah mercuri yang dipergunakan oleh para pengolah/ pengurai emas dilokasi tersebut.
Walaupun dilokasi memiliki kolam untuk daur ulang limbah, namun akibat hujan yang beruntun maka air limbah di kolam akan penuh dan merembes/melimpah ke aliran DAS Kreung Paya Iteik Desa Sukadamai yang mengalir hingga ke pusat Kreung Manggeng akan tercemar.
Kemudian Lokasi penambangan di daerah ini sampai saat ini belum ditemukan adanya emas, sementara perbukitan di beberapa titik sudah dalam kondisi berlubang dengan kedalaman sampai 5 – 10 meter dengan ukuran  lebar sekitar 1,5 meter dan tinggi 1,7 meter, yaitu di Desa Suka Damai Kecamatan Lembah Sabil Kabupaten Aceh Barat Daya.
Masyarakat yang ekonomi lemah, dalam mendapatkan lokasi yang memiliki emas, hanya dari hasil mengikuti dan melihat kegiatan petugas survei yang secara kebetulan memasuki Desanya, sementara petugas survei didatangkan oleh masyarakat yang bermodal dari luar daerah biasanya dari Bandung,  dan bukan dari petugas riset daerah, kemudian bila di lokasi memiliki emas, maka sipemodal berupaya untuk memiliki lahan tersebut.
Dalam pemilikan lahan lokasi penambangan emas, warga masyarakat dapat memiliki seluas 5 sampai 10 hektar, sudah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk pemilikan lahan penambangan.  Sementara  lahan, ada yang milik masyarakat, namun ada juga lahan yang masih berstatus milik Negara/ Pemerintah daerah

                                                Gambar 1 : Lokasi Penggalian


Gambar 2  :  Pecahan batu siap untuk diproses pengolahan


Gambar 3  :  Lokasi Pengolahan/pemurnian


                           Gambar 4  :  Pembuangan limbah proses pengolahan                                                              

ANALISA

Keberadaan tambang emas tradisional tersebut itu memiliki resiko tinggi karena lubang yang digali mencapai  kedalaman puluhan meter dan lubang-lubang tersebut mengancam keselamatan jiwa para penambang, terutama ketika hujan turun bisa menyebabkan longsor dinding lubang yang mengakibatkan bahan material turun.
Aktivitas penambangan tersebut merusak lingkungan, baik dari sisi penggalian maupun limbah mercury (air raksa) yang digunakan dalam proses menguraikan/memisahkan emas dari hancuran bebatuan, terutama bila lokasi penambangan berada disekitar DAS.
Ada tiga aspek  yang saling berkaitan dengan persoalan pertambangan di Aceh, yaitu  aspek  legalitas (hukum), aspek  Lingkungan dan aspek  ekonomi, namun dengan keberadaan penambangan rakyat di Provinsi Aceh lebih cenderung pada aspek ekonomi, dengan mengabaikan asapek lingkungan dan legalitasnya.
Penambangan emas di beberapa kabupaten, seperti Kabupaten Abdya, Aceh Jaya, Aceh Selatan  yang menggali hingga kedalaman 30 meter telah melanggar pasal 12 ayat b UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, kemudian untuk penambangan skala rakyat yang mempunyai cadangan primer logam atau batubara, kedalaman penggalian yang boleh dilakukan maksimal sampai 25 meter.
Kegiatan penambangan khususnya emas, tidak terlepas dari penggunaan zat kimia yang berbahaya bagi kehidupan manusia, yaitu mercury dalam proses penguraian endapan emas dari bebatuannya/lumpurnya, sementara penggunaan mercury telah melanggar UU Nomot 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 43 ayat 1 dan Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/KEP/7/2000 tentang Tata Niaga Impor dan Peredaran Bahan Bebahaya tertentu, termasuk mengangkut, mengedar, menyimpan bahan berbahaya.

Keberadaan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) sebagaimana tersebut diatas, sangat mempengaruhi terjadinya  kerusakan lingkungan, hal ini kemungkinan dalam melakukan kegiatannya tanpa di dasari data explorasi, dan faktor keselamatan kerja.
Qanun yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh Nomor 12 tahun 2002 Tentang Pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, sudah tidak relevan berkaitan dengan telah keluarnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berikut dengan peraturan pelaksanaannya yaitu PP RI No  22 TAHUN 2010 Tentang Wilayah Pertambangan dan PP RI NOMOR 23 TAHUN 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara
Untuk Pemda Kabupaten/kota sampai saat ini belum menerbitkan  Qanun yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan sesuai dengan tingkat kewenangannya, sehingga sangat patut dan wajar bila hal ini menjadi salah satu factor penyebab maraknya pertambangan tanpa ijin/ liar
Keberadaan koperasi sebagai tempat warga bernaung, merupakan kebijakan yang kurang relevan, dan membohongi warga karena kegiatan mereka sudah merupakan tindakan yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Berangkat dari pengalaman keberhasilan daerah provinsi lainnya dalam  pengelolaan pertambangan emas rakyat melalui BUMD, tidak salahnya apabila langkah kebijakan tersebut dapat diterapkan di provinsi Aceh.
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil observasi di lapangan dan analisa diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Dengan belum diterbitkannya Qanun/ Perda di Pemda Kabupaten/kota untuk mengatur tentang kegiatan Pertambangan,  kemudian Qanun Pemda Provinsi Aceh yang ada tidak mengacu kepada ketentuan perundangan-undangan yang baru dari Pemerintah Pusat, maka Pemda belum dapat untuk menetapkan Wilayah Pertambangan di daerahnya, sehingga tidak dapat menerbitkan Ijin Pertambangan sesuai dengan kewenangannya.
Sehingga sejak diundangkannya ketentuan perundang-undangan dan peraturan pemerintah yang baru, kegiatan pertambangan yang dilakukan di wilayah Provinsi Aceh khususnya pertambangan emas rakyat, adalah tidak sah atau illegal, dan walaupun diantaranya ada memiliki  IPR (ijin Pertambangan Rakyat), namun IPR tersebut dipandang tidak sah karena tidak sesuai dengan prosedur dari ketentuan yang berlaku.
Dengan belum terpenuhinya Qanun baik tingkat Provinsi Aceh maupun tingkat Pemda Kabupaten/kota, sebagaimana yang dimanatkan UU No 4 Tahun 2009 berikut dengan Peraturan Pelaksanaanya, maka kebijakan yang diambil tidak menguntungkan keberlangsungan sumber daya alam dan lingkungan di Provinsi Aceh.
Pengelolaan pertambangan rakyat yang diwadahi dengan koperasi terutama pasca diberlakukannya UU No 4 Tahun 2009 beserta peraturan pelaksanaannya, bukan merupakan kebijakan yang arif karena telah membohongi warga dari legalitas kegiatan mereka.
Kebijakan pengelolaan pertambangan emas rakyat selama ini, secara substansial hanya menunjang pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah-wilayah tersebut, akan tetapi mengenyampingkan aspek legalitas dan lingkungannya.  Sehingga dapat merugikan keberlangsungan sumber daya alam dan lingkungan di Provinsi Aceh.
Kegiatan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) sebagaimana tersebut diatas, merupakan penyebab utama terjadinya  kerusakan lingkungan, hal ini dikarenakan dalam melakukan kegiatannya tanpa di dasari data explorasi,, penggunaan zat kimia mercuri dengan membuang limbah sembarangan dan tidak memperhitungkan faktor keselamatan kerja.
Diperlukan pembuatan kebijakan yang tepat untuk mengubah status pertambangan tersebut menjadi pertambangan resmi berskala kecil.yang berorientasi kepada keekonomian masyarakat setempat, hal ini dapat terealisasi bila perangkat hukum khususnya Qanun dapat dengan secepatnya diterbitkan oleh Pemda Kabupaten/kota, sedangkan Pemda Provinsi Aceh dapat merevfisi Qanun sebelumnya, sehingga mengacu pada UU No 4 Tahun 2009 dan peraturan pelaksanaannya.
Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak dibidang pertambangan rakyat, karena secara ekonomi keuntungan yang diperoleh akan berlipat ganda tanpa dibagi kepada investor pengelola. Kemudian dapat terjaga keseimbangan lingkungan dan tata ruang wilayah pertambangan, serta yang terpenting memberikan kontribusi kepada kepentingan pembangunan sosial ekonomi serta keberlangsungan sumber daya dan lingkungan di provinsi Aceh.

DAFTAR  PUSTAKA

Mitchel Bruce, Setiawan.D dan Hadi Rahmi.D, 2000, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Sinar Grafika Offset Jakarta
Soerjani.M, Ahmad.R dan Munir.R, 1987, Lingkungan : Sumber daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Universitas Indonesia Jakarta
Soemirat J.S, 1994, Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada University Press Yokyakarta
Suparmoko.M , 1989, Ekonomi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta
Undang Undang Rewpublik Indonesia, Nomor 4 Tahun 2009, Pertambangan Mineral dan Batubara, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor   22 Tahun 2010, Wilayah Pertambangan, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor   23 Tahun 2010,  Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia Jakarta
Undang Undang Rewpublik Indonesia, Nomor 26 Tahun 2007, Penataan Ruang, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia Jakarta

Selasa, 07 Agustus 2012

PERANAN PEMETAAN POTENSI EKONOMI DAERAH DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN ACEH UTARA

PERANAN PEMETAAN POTENSI EKONOMI DAERAH
DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN DAERAH
KABUPATEN ACEH UTARA

Nuraina, SKM,MSi
Kepala Kantor Lingkungan Hidup
 Kabupaten Aceh Utara


Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka setiap Pemerintah Kabupaten/ Kota sebagai daerah otonom dituntut untuk dapat mengembangkan dan mengoptimalkan semua potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan tujuan pembangunan daerah sebagaimana yang dimanatkan dalam undang-undang tersebut, maka kecepatan dan optimalisasi pembangunan dimaksud akan sangat ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas sumberdaya ekonomi (baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia). Keterbatasan dalam kepemilikan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, baik secara kualitas maupun kuantitas, karena dapat menimbulkan kemunduran dalam dinamika pembangunan ekonomi daerah, serta ketidakleluasaan daerah untuk mengarahkan program dan kegiatan pembangunan ekonominya.
Pembangunan daerah Kabupaten Aceh Utara yang merupakan bagian dari Provinsi Aceh, sangat dipengaruhi oleh kondisi konflik antara NKRI dengan GAM, berlanjut dengan bencana alam gempa dan tsunami serta pemekaran daerah diimana berpindahnya ibu kota Kabupaten Aceh Utara ke kota Lhoksukon. Kemudian dengan terjadinya MoU antara  NKRI dengan GAM, yang berkonsekuensi pemberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dengan demikian tantangan yang akan dihadapi Daerah  Kabupaten Aceh Utara dalam meningkatkan pendapatan daerah dan kemandirian dalam pembangunan sangat tergantung pada kearifan dalam pengelolaan potensi ekonomi daerahnya, terutama dalam menghadapi kondisi ekonomi Pasca Migas. Sehingga memerlukan arah dan kebijakan dan strategi pembangunan yang tepat, melalui perencanaan pembangunan berdasarkan potensi daerah yang sinergis dengan hasil pemetaan potensi ekonomi daerahnya. Pemetaan potensi ekonomi daerah merupakan basis strategis dalam menyusun perencanaan pengembangan ekonomi daerah, dalam rangka upaya mendorong optimalisasi kinerja pembangunan daerah melalui proses penyusunan rencana yang dapat dipertanggungjawabkan.

Maksud dari pada tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran sampai sejauh mana peranan dan manfaat pemetaan potensi ekonomi daerah terhadap pembangunan daerah , sedangkan tujuannya untuk dapat menjadi bahan masukan kepada para steak holder dalam pembangunan daerah Kabupaten Aceh Utara
Pembangunan adalah upaya suatu masyarakat bangsa yang merupakan perubahan sosial yang besar dalam berbagai bidang kehidupan ke arah masyarakat yang lebih maju dan baik sesuai dengan pandangan masyarakat bangsa itu (Tjokroamidjojo,1996).
 Pembangunan daerah adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan manusia dan masyarakat daerah yang dilakukan secara terus-menerus, berlandaskan kemampuan daerah, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan daerah, nasional dan global. Pengertian daerah disini mencakup daerah kabupaten/kota dan daerah propinsi masing-masing sebagai daerah otonom.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2008 Bab I pasal 1 menyatakan bahwa Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing, maupun peningkatan indeks pembangunan manusia.
Potensi ekonomi daerah pada dasarnya dapat diartikan sebagai sesuatu atau segala sesuatu sumberdaya yang dimiliki oleh daerah baik yang tergolong pada sumberdaya alam (natural resources/endowment factors) maupun potensi sumberdaya manusia yang dapat memberikan manfaat (benefit) serta dapat digunakan sebagai modal dasar pembangunan (ekonomi) wilayah.
Potensi sumberdaya ekonomi khususnya sumberdaya alam (natural resources/endowment factors) pada prinsipnya dapat dikategorikan menjadi 3 bagian, meliputi : a. sumberdaya alam yang tidak pernah habis (renewable-perpetual resources), b. sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui (non-renewable or exhaustible resources), c. sumberdaya alam yang potensial untuk diperbarui (potentially renewable resources).
Disamping komponen sumberdaya alam, pada saat ini peranan sumberdaya manusia (human resources) dalam konteks kegiatan pembangunan ekonomi termasuk pembangunan ekonomi daerah (wilayah) semakin signifikan. Faktor sumberdaya manusia ini telah menghadirkan suatu proses pemikiran baru dalam telaah teori-teori pembangunan ekonomi, yang menempatkan sumberdaya manusia sebagai poros utama pembangunan ekonomi baik dalam skala global, nasional maupun daerah. Strategi pembangunan ekonomi yang berbasis pada pengembangan sumberdaya manusia (human resources development) dianggap sangat relevan dan cocok dengan kondisi dan karakter pembangunan ekonomi


Dalam era otonomi daerah kecepatan dan optimalisasi pembangunan daerah, akan sangat ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas sumberdaya ekonomi (baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia). Keterbatasan dalam kepemilikan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berkulitas dapat menimbulkan kemunduran yang sangat berarti dalam dinamika pembangunan ekonomi daerah.
Konsekuensi lain yang ditimbulkan sebagai akibat keterbatasan dimaksud adalah ketidakleluasaan daerah yang bersangkutan untuk mengarahkan program dan kegiatan pembangunan ekonominya, dan situasi ini menyebabkan munculnya pula disparitas pembangunan ekonomi wilayah. Kondisi ini tampaknya menjadi tak terhindarkan terutama bila dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, seiring dengan semangat desentralisasi, sebagian besar kewenangan pengelolaan sumberdaya alam sudah diserahkan kepada daerah, yang selama ini tidak tersentuh oleh kewenangan Daerah Kabupaten/ Kota (pasal 129 UU Nomor 22 Tahun 1999), sangat memerlukan pengelolaan manajemen sumberdaya alam sehingga pengelolaan, ketersediaan, dan kebijakan yang tepat, relevan serta komprehensif dapat menjamin   percepatan proses pembangunan daerah dan penguatan tatanan ekonomi daerah yang pada gilirannya dapat menjamin keberlanjutan proses pembangunan.

Sistem pentransformasian data menjadi basis pengetahuan yang diharapkan mampu mendukung kebijakan pengembangan potensi ekonomi daerah bagi pencapaian kinerja kemajuan sesuai yang diharapkan. Pemetaan potensi ekonomi daerah dilakukan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu daerah menuju penciptaan daya saing  dan merancang rencana serta menentukan strategi pembangunan ekonomi di Daerah untuk pertumbuhan ekonomi, investasi dan daya saing yang tinggi.
Faktor kunci keberhasilan kegiatan pemetaan potensi ekonomi daerah, sangat tergantung pada  komitmen yang kuat dan visi serta persepsi yang sama antara penyedia dan pengguna data serta didukung fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai. Disisi lain untuk keberlanjutan kegiatan pemetaan potensi ekonomi daerah, diperlukan peran aktif semua pihak di Daerah terutama dalam melakukan koordinasi penyiapan data/informasi yang terkini dan senantiasa dilakukan up date data serta dukungan dana sehingga pemetaan potensi ekonomi daerah dapat berkelanjutan.
Pada kegiatan pemetaan potensi ekonomi daerah menurut Ditjen Bina Pembangunan Daerah Depatemen Dalam Negeri meliputi 9 indikator penting, seperti : Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, Sumberdaya Sosial, Aktivitas dan Komoditas Ekonomi, Infrastruktur dan Fasilitas Umum, Penataan Ruang, Penganggaran Belanja Daerah, Interaksi Antar Daerah, Kinerja Pembangunan Daerah, kemudian  dapat difahami, dianalisis dan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan perencanaan pembangunan daerah.

Kegiatan pemetaan potensi ekonomi daerah, dilakukan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu daerah, sehingga dapat dimanfaatkan dalam merancang rencana pembangunan daerah, kemudian digunakan untuk menentukan strategi pembangunan ekonomi di Daerah untuk pertumbuhan ekonomi, investasi dan daya saing yang tinggi. Sehingga peta potensi dimaksud dapat memberikan arah dan kebijakan yang akan diambil dalam pengembangan potensi ekonomi daerah akan lebih terfokus dan mempunyai dasar yang kuat.
Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing, maupun peningkatan indeks pembangunan manusia (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2008 Bab I pasal 1).
Pemanfaatan Sumber daya yang dapat mendukung optimalisasi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan ekonomi daerah secara lebih komprehensif, sangat tergantung pada peta potensi ekonomi daerah, karena dengan adanya peta potensi ekonomi daerah, Pemerintah Daerah akan lebih mudah dan cepat untuk menentukan peluang yang bisa dimanfaatkan/dikembangkan dalam rangka menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakatnya serta memberi kemudahan dalam menetapkan potensi apa yang paling potensial untuk dikembangkan dan yang mempunyai nilai tambah tinggi.

7.     Rekomendasi
Mencermati perkembangan dalam pengelolaan potensi sumber daya di Daerah Kabupaten Aceh Utara, masih menemui hambatan akibat keterbatasan dalam  memiliki data/informasi ataupun kurang akuratnya data yang berkaitan dengan potensi sumber daya ekonomi daerah, kiranya perlu direkomendasikan, sebagai berikut :